Mantan Ketua DPRD Jabar Irfan Suryanegara dan Istri Jelaskan Tak Pernah Mengajak Kliennya Berbisnis SPBU, Permasalahan Utama Hutang Piutang Bukan Penipuan

Sidang irfan

POJOKJABAR.COM, BANDUNG – Kasus dugaan penipuan dan penggelapan bisnis SPBU yang menyeret mantan Ketua DPRD Jawa Barat Irfan Suryanagara dan istrinya Endang Kusumawaty, memasuki babak baru.


Dalam sidang lanjutan pada Senin (16/1/2023) ini, kedua terdakwa dihadirkan secara langsung di persidangan dengan agenda pemeriksaan terdakwa.

Dalam persidangan tersebut, majelis hakim mencocokan katerangan yang disampaikan korban Stelly Gandawidjaja saat persidangan sebelumnya.

Dalam persidangan, banyak keterangan Irfan yang membantah keterangan Stelly.
Kepada majelis hakim, Irfan menjelaskan awal mula perkenalan antara Irfan dengan Stelly. Saat itu, terdakwa mengenal Stelly sebagai pengusaha.


Sedangkan Irfan saat itu menjabat Ketua DPRD Jabar.

“Saksi mengenalkan dirinya sebagai pengusaha dan ingin bersilaturahmi dengan saya. Pak Stelly juga mengatakan memiliki banyak usaha di bidang properti,” ungkap terdakwa.

Lebih lanjut Irfan menjelaskan pertemuan dengan Stelly. Saat itu, karena pernah mendengar bahwa Stelly pengusaha di bidang properti, terdakwa pernah menawarkan kepada Stelly mengenai lelang di salah satu dinas. Namun, Stelly tidak jadi mengikuti lelang tersebut.

*Mulai Membahas Soal Pembebasan Lahan SPBU*

Karena Stelly sering berkunjung ke rumahnya, kata Irfan, dalam pertemuan selanjutnya Stelly mengajak berbisnis. Pada pertemuan itulah, mulai berbicara mengenai pembebasan lahan.

Kala itu, Irfan menyarankan untuk pembebasan lahan di Majalengka. Pasalnya, di daerah itu akan dibangun bandara. Menurutnya, dalam pertemuan itu, kedua belah pihak tidak ada pembicaraan mengenai keuntungan.

Saat itu, harga per meter tanah di Majalengka masih antara Rp 26 ribu hingga Rp 50 ribu, tergantung letak tanahnya.

“Setelah itu terjadilah pembebasan lahan yang saat ini telah jadi SPBU milik Pak Stelly. Yang membebaskan (tanah) itu Pak Stelly, menggunakan uangnya Pak Stelly,” ungkapnya.

“Pembebasan lahan yang satu sekarang jadi SPBU. Kemudian yang satunya lagi jadi jalan masuk bandara dan satu lagi pembakaran genting,” ucap Irfan menambahkan.

Kemudian, terdakwa juga menjelaskan mengenai pembelian lahan di Pasir Ipis, Sukabumi.

Irfan menegaskan, pihaknya membeli langsung lahan tersebut dari saksi Ajo dengan harga Rp 63 ribu per meternya.
Keuntungannya, kata Irfan, jika ke depannya jalan di Pasir Ipis itu menjadi jalan raya, maka harga tanah akan menjadi Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per meter.

“Setelah saya membeli tanah di Pasir Ipis itu, Stelly tertarik membeli lahan di Pasir Ipis dan membeli di samping lahan milik saya yang sudah saya beli duluan. Lahan saya dan Stelly masih dalam satu hamparan. Saya minta Pak Ajo untuk membantu Pak Stelly dalam hal pembebasan lahan,” tuturnya.

Pak Ajo, lanjut Irfan, saat itu bersama rekanannya membebaskan lahan sekitar 2 hektare lebih.

Selanjutnya, kata Irfan, pihaknya pun menunjukkan lahan lainnya untuk Stelly yang berada di Gunung Karang, Sukabumi sekitar 7 hektare. Jika ke depannya jadi pembangunan jalan provinsi, maka harga tanah akan naik antara Rp 200 ribu hingga Rp 400 ribu per meter.

Di muka persidangan, Irfan menjelaskan mengenai SPBU pernah meminta dana talang kepada Stelly untuk pembelian SPBU di Walahar, Kabupaten Karawang sebsar Rp 12,5 miliar.

“Saya memperoleh informasi kalau SPBU itu sudah tutup satu tahun. Kemudian saya bertemu dengan pemiliknya bernama Pak Joe Poni dan bernegosiasi. Saya bilang ke Pak Stelly, saya minta tolong talangi dulu,” tutur Irfan.

Kepada Joe Poni, lanjut Irfan, dirinya menjelaskan bahwa nanti yang membayar pembelian SPBU itu Pak Stelly.

“Sedangkan SPBU milik saya yang pertama yaitu di daerah Pangenan, Cirebon yang sudah tutup. Luas lahannya 1 hektare, bukan 1,5 hektare. Saya beli tahun 2013,” ucapnya.

Pada tahun yang sama, yaitu tahun 2013, terdakwa menuturkan, dirinya melakukan negosiasi mengenai pembelian SPBU di Pelabuanratu, Sukabumi milik mantan direksi BUMD.

“Setelah bernegosiasi, akhirnya kami sepakat harga SPBU itu Rp 6,6 miliar. Itu tidak ada hubungannya dengan Pak Stelly maupun dengan Pak Ajo,” ucap Irfan.

*Terdakwa Ditagih Hutang*

Lantas, lanjut Irfan, pada 2013 lalu Stelly pernah mendatanginya. Kedatangan Stelly ini berhubungan dengan hutangnya yang mencapai Rp 40 miliar, sedangkan yang belum terbayarkan sebesar Rp 37 miliar.
Namun, sebelum membayar lunas semua hutangnya, terdakwa sempat meminta Stelly merinci hutang-hutang yang belum terbayarkan itu. Sebab, terdakwa mengaku ada yang kurang dipahami dari daftar hutang terdakwa tersebut.

“Saya meminta Pak Stelly untuk merinci (hutang). Hutang akan saya bayarkan setelah ada rincian lengkapnya. Namun, setelah itu saya terkena Covid-19. Namun, saat pertemuan selanjutnya, berakhir seperti ini,” ungkap Irfan.

Irfan menuturkan, apa yang dihadapinya kali ini terjadi pada saat dirinya sedang mengikuti pencalonan di DPD Partai Demokrat 2021 silam. Menurut Irfan, hal itu saling berkaitan.

“Sebenarnya masalahnya adalah talangan-talangan. Namun, pada waktu itu saya sedang melakukan kontestasi politik, sedang ada pencalonan ketua Partai Demokrat Jawa Barat. Saya ketuanya pada waktu itu,” ucap Irfan.

Menurutnya pada saat tersebut dirinya kerap mengalami tekanan. Bahkan terdapat informasi yang beredar terkait jangan memilih dirinya.

“Setiap saya diperiksa di Bareskrim, padahal baru diminta klarifikasi, tapi surat itu sudah beredar ke konstituen saya, ke PAC, DPC, hingga ke ranting (pengurus partai) agar tidak memilih saya,” tuturnya.

“Saat pemilihan (Ketua DPD Demokrat Jawa Barat), ternyata saya masih menang dengan skor 18 berbanding 10. Hanya ada satu orang yang mencederai saya tidak menjadi ketua DPD. Bahkan di depan rumah saya, disimpan mobil tahanan dan beredar kabar kalau Irfan segera ditahan,” kata Irfan menambahkan.

Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Raditya mengungkapkan, kliennya tidak pernah meminta Stelly berbisnis SPBU.

“Pak Irfan hanya meminta tolong saja untuk talangin dulu beliin pom bensin,” ucap Raditya.

Raditya menjelaskan, dalam kasus yang menjerat kliennya ini tidak bisa masuk dalam unsur TPPU. Seharusnya, kasus ini masuk dalam ranah perdata.

“Sekarang kita serahkan ke hakim. Hakim bisa menilai dengan fakta persidangan dan bukti yang ada. Mau dilarikan ke mana perkara ini,” katanya.