Wasapada Tuberkulosis Laten Tidur dalam Tubuh

POJOKJABAR.com, JAKARTA – Diantara tahun 2020-2022, COVID-19 telah menguras tenaga, waktu, dan perhatian Pemerintah, dunia usaha, dan berbagai lapisan masyarakat untuk bertahan di tengah pandemi.


Kecepatan penyebaran SARS-Cov-2 mengharuskan banyak perusahaan gulung tikar dan/memaksa layanan esensial, termasuk di sektor kesehatan, terhenti.

Sementara pandemi membuat kita tertekan, perkara penyakit menular seperti tuberkulosis (TBC) terus melaju dan berpotensi menambah beban penyakit di masyarakat.

Menurut Global TB Report 2022 yang diterbitkan oleh World Health Organization, perkiraan angka kejadian (insidensi) TBC di Indonesia meningkat 15 persen di antara tahun 2020 ke tahun 2021. Artinya, setiap satu menit ada dua orang yang sakit TBC, dan, jika tidak;diobati, seseorang dengan TBC dapat menginfeksi 10 hingga 15 orang di sekitarnya dalam satu
tahun.


Namun, tidak semua orang yang terkena bakteri TBC akan jatuh sakit, beberapa kelompok masyarakat lebih rentan terhadap infeksi ini karena kondisi imunitasnya yang lebih
rendah.

Kelompok yang rentan TBC adalah anak-anak terutama yang berusia di bawah lima
tahun, orang lanjut usia, serta kondisi penyakit tertentu seperti Diabetes, HIV/AIDS, dan gizi
buruk.

dr. Nurul Luntungan, MPH, Ketua Yayasan Stop TB Partnership Indonesia (STPI) sekaligus Authorized Signatory Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI menerangkan, TBC
laten adalah keadaan dimana Mycobacterium Tuberculosis tidur di tubuh selama
bertahun-tahun karena ditahan oleh daya tahan tubuh.

Ketika daya tahan tubuh menurun, bakteri TBC bisa bangun dan menyerang tubuh kita sehingga menjadi sakit dan dapat menularkan orang lain.

“Sebuah studi memperkirakan 120 juta orang di Indonesia mempunyai TBC laten.
Kondisi ini dapat diketahui dengan tes mantoux atau tes darah (IGRA). Indonesia tidak akan
berhasil mengatasi TBC jika tidak mengendalikan TBC laten,”ucapnya

“Saat ini sudah tersedia di Indonesia Terapi Pencegahan TBC (TPT) agar kondisi TBC laten tidak berkembang menjadi penyakit,” tambah Nurul.

Oleh sebab itu, STPI berkolaborasi dengan Yayasan Penabulu membentuk Konsorsium
Komunitas Penabulu-STPI sebagai penerima hibah utama program TBC komunitas dari Global
Fund to Fight Against HIV/AIDS, Tuberculosis, and Malaria (GF-ATM).

Konsorsium ini mendukung dan memperkuat sistem organisasi komunitas maupun upaya berbasis masyarakat dan penyintas TBC melalui promosi kesehatan, upaya pencegahan TBC pada balita dan anak-anak, skrining gejala TBC aktif, fasilitasi pemeriksaan TBC.

Dukungan psikososial pengobatan pasien, serta dukungan advokasi, umpan balik kualitas layanan, dan akses terhadap layanan hukum untuk meringankan stigma dan diskriminasi yang dialami pasien TBC dan keluarganya.

Heny Akhmad, selaku Direktur Program Nasional dari Konsorsium ini menerangkan saat ini mendukung program pemerintah bersama 9.212 kader TBC Komunitas di masyarakat untuk mendorong kesadaran masyarakat akan hak atas kesehatan.

Termasuk bebas dari infeksi TBC dengan mendapatkan TPT. Di 190 kota/kabupaten pada 30 provinsi.

“Kami telah mengedukasi 6.359 orang tentang infeksi TBC dan TPT, dan 5.604 diantaranya telah dirujuk untuk memulai terapi. Tindakan untuk mencegah TBC melalui TPT adalah cara konkrit kita untuk terlibat memutus mata rantai penularan TBC,” ujarnya

Menurut kader TBC Komunitas, Ibu Siti Setiyani di Sidoarjo, Jawa Timur, menyadarkan masyarakat tentang infeksi TBC dan TPT menjadi tantangan tersendiri.

“Masyarakat menganggap bahwa anaknya sehat, kok harus minum obat rutin, sehingga, orangtua tidak berkenan anaknya diberikan TPT. Namun, dengan saya terus memberikan edukasi terkait TPT dan memberikan pengertian bahwa jika tidak diberikan TPT anak kemungkinan bisa jadi sakit
TBC. Masyarakat yang berkontak dengan pasien TBC bisa lebih memahami dan mau mengkonsumsi TPT,” pungkasnya.

Dengan berbagai edukasi yang sudah diberikan oleh kader, pola mindset masyarakat
pun dapat diubah agar memahami TPT menjadi upaya pencegahan pada kontak serumah
maupun yang kontak erat dengan pasien TBC.

“Awalnya, saya mendapatkan penolakan bahkan
tidak dihiraukan oleh masyarakat, namun, saya tetap gigih untuk mengedukasi masyarakat
bahwa TBC dapat menginfeksi siapapun dan beresiko menjadi sakit. Saat ini perjuangan saya
membuahkan hasil dengan mengajak 8 balita memulai TPT dan membuat saya dikenal sebagai
ikon TBC.”

Berdasarkan modelling dalam Global Plan to End TB 2023-2030 yang diterbitkan oleh
Stop TB Partnership (global), Indonesia hanya dapat mencapai eliminasi TBC dengan memperluas penanganan orang dengan infeksi TBC dan memberikan kekebalan melalui TPT
terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak.

(zag/pojokjabar)