Heboh Ashanty Suapin Azriel, Netizen Pertanyakan Kemahraman Keduanya

Unggahan Ashanty di story Instagram miliknya. IST

POJOKJABAR.id, JAKARTA – Sebuah video viral di aplikasi TikTok yang memperlihatkan kebahagiaan keluarga The Hermansyah yang menjadi sorotan warganet. Video tersebut diunggah oleh akun @nf pada Rabu 23 Februari 2022.


Dalam video yang diunggah itu, terlihat seorang ibu sambung Ashanty yang menyuapi anak sambungnya yaitu Aurel Hermansyah dan Azriel Hermansyah. Suapan dari tangan langsung oleh ibu sambug ini lantas mencuri perhatian warganet.

Pasalnya sangat jarang seorang ibu tiri mau menyuapi anak sambungnya. Bahkan kejadian itu sangat langka ditemukan di zaman kini.

“Belajar dari aurel dan Azriel, setiap luka pasti ada kebahagiaan, sempat kehilangan kebahagiaan dan berada di titik terendah dan pada akhrinya allah telah menyiapkan kebahagiaan untuknya,” tulis di keterangan video @nf itu.


Namun tak sedikit juga netizen yang bertanya-tanya bagaimana hukumnya jika ibu sambung bersentuhan dengan anak tiri laki-laki dalam pandangan Islam? Mahramkah?

Secara umum ibu tiri bisa diartikan sebagai ibu yang tidak mengandung, melahirkan, atau menyusi anaknya. Ibu tiri adalah hasil dari pernikahan Ayah setelah ibu kandung tiada atau mengalami perceraian. Ibu tiri erat kaitannya dengan posisi atau status yang rendah atau bahkan dikesampingkan karena dianggap bukan ibu asli dari anak-anak sang suami.

Posisi ibu tiri dalam Islam dapat dilihat dari posisinya dalam garis keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya ibu tiri merupakan keluarga sah yang bergabung dengan keluarga suaminya dan berlaku sebaliknya. Dalam hali ini ibu tiri pun juga termasuk di dalam pengertian mahram dalam islam.

Istri yang sah dari Suami (dari terjadinya akad nikah)
Seorang ibu tiri tentunya adalah istri yang sah bagi suaminya.

Tentunya seorang wanita yang dinikahi secara sah dalam kaidah-kadiah dan sesuai syarat-syarat akad nikah dalam islam adalah menjadi tanggung jawab suaminya.

Begitupun istri yang sah dari pernikahan sesuai rukun nikah dalam islam, walaupun bukan istri pertama atau ibu dari anak anak suami, memiliki tanggung jawab sebagaimana seorang ibu atau istri dalam ajaran islam.

Selagi pernikahan itu sah dan terdapat wali nikah yang sah, maka wanita menjadi istri yang sah bagi suami.

Dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal”

Ibu Tiri adalah Ibu yang sah (mahram) bagi Anak dari Suami
Dengan menikahnya laki-laki yang memiliki anak dengan seorang perempuan, maka anak dari laki-laki tersebut menjadi anak dan mahram pula bagi perempuan yang sudah dinikahi. Maka anak dari laki-laki tersebut selama-lamanya berstatus anak yang resmi dan mahram bagi perempuan.

Secara otomatis, (walaupun berstatus anak tiri) maka selama-lamanya pula tidak boleh menikah dengan ibu tirinya walaupun suatu waktu telah bercerai pada ayahnya, karena ibu tiri bagi anaknya adalah muhrim dalam islam.

Untuk itu ibu tiri adalah wanita yang haram dinikahi dalam islam oleh anak tirinya.

Hal ini dijelaskan dalam QS Annisa : 22

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”

Untuk itu, ibu tiri adalah adalah ibu yang sah atau resmi dan berstatus mahram bagi anak-anak dari suami.

Ibu Tiri yang memiliki anak, adalah anak pula bagi suaminya
Apabila Laki-laki menikahi perempuan yang memiliki anak (janda), dan setelah berhubungan seksual, maka anak-anak dari perempuan tersebut pun menjadi anak dan mahram dari laki-laki tersebut (suami). Maka sampai kapanpun laku-laki tersebut diharamkan untuk menikahi anak dari perempuan tersebut, walaupun sudah bercerai dari istrinya. Dalam fiqh pernikahan, maka ibu tiri pun dilarang dinikahi oleh anak-anak suaminya walaupun sudah bercerai dengan ayahnya.

Hal ini dijelaskan pula dalam Al Quran, QS : An Nisa : 23

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jika terjadi pernikahan antara perempuan dan laki-laki yang salah seorang atau keduanya memiliki anak, maka terjadi hukum yang berlaku pula pada anak-anak mereka. Hukum tersebut disebut dengan tahrim mu’abbad yaitu larangan untuk melakukan perkawinan selama-lamanya, walau ayah dan ibu dari anak anak tersebut sudah bercerai.

Ibu Tiri sama Mulianya sebagaimana Ibu Kandung

Ibu tiri bukanlah ibu sampingan. Jika ibu tiri berbuat sebagaimana ibu kandung memperlakukan anak-anak dan keluarganya dengan baik tentunya akan membawakan kemuliaan, kebaikan di dunia dan akhirat, selayaknya ibu kandung yang juga bertugas dan berkewajiban seperti itu untuk anak-anak dan keluarganya.

Islam tidak pernah memandang rendah ibu tiri melainkan mengangkat derajat seseorang bukan karena statusnya, akan tetapi dari bagaimana perilaku, moral, dan amaliah yang dilakukan. Sebagaimana kita ketahui di zaman hari ini tidak selalu ibu kandung berbuat baik terhadap anaknya. Untuk itu, di mata Allah adalah amaliah, bukan hanya status atau kedudukannya. Dengan keihlasan hati tentunya perbuatan baik akan lebih bernilai di hadapan Allah. Untuk itu perlu kiranya mengetahui ciri-ciri orang yang tidak ikhlas dalam beribadah kepada Allah, agar bisa lebih ikhlas dan sabar beribadah.